TAHUN
2016 ini, Persib, klub sepak bola kebanggaan Jawa Barat, berusia 83
tahun. Sudah banyak prestasi yang dibukukannya. Maung Bandung pun sempat
terpuruk. Persib juga menjadi klub sepak bola yang berpengaruh dalam
perjalanan persepakbolaan Tanah Air. Berikut ini sejarah Persib yang
disajikan secara singkat.
1923
Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) didirikan. Klub sepak bola
inilah yang menjadi cikal bakal Persib Bandung. BIVB merupakan salah
satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu dengan Ketua
Umum Syamsudin. Kepemimpinan BIVB kemudian dilanjutkan R. Atot yang
merupakan putera pejuang wanita Dewi Sartika.
BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda
sebaai arena sepak bola. Tim BIVB beberapa kali mengadakan pertandingan
di luar kota seperti Yogyakarta, Jatinegara, dan Jakarta.
19 April 1930
BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (sekarang Persebaya), MIVB
(PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM
Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan
di Societeit Hadiprojo Yogyakarta.
BIVB, dalam pertemuan tersebut, diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun
kemudian, kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan.
BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski
kalah dari VIJ Jakarta.
14 Maret 1933
Persib lahir dari rahim dua perkumpulan yang juga diwarnai
nasionalisme Indonesia, yaitu Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung
(PSIB) dan National Voetball Bond (NVB).
Sebelum bersatu menjadi Persib Bandung, kedua perkumpulan itu muncul setelah BIVB menghilang gaung aktivitasnya.
Ketua umum Persib yang terpilih saat itu adalah Anwar St. Pamoentjak.
Adapun klub-klub sepak bola yang bergabung di bawah naungan Persib
adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP,
MALTA, dan Merapi.
1937
Pada masa ini, di Bandung, berdiri perkumpulan sepak bola yang
dimotori orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken
(VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah dan mengejek Persib
sebagai perkumpulan kelas dua. Pasalnya, laga-laga yang dilangsungkan
oleh Persib ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti
Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat juga ketika itu lebih suka menyaksikan
pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam
Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di
pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Namun, Persib akhirnya lebih merebut hari warga dan menegaskan diri
sebagai perkumpulan sepak bola satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan
sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung di bawah VBBO seperti UNI
dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO kemudian
menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding
yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan
SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini mengukuhkan eksistensi
Persib di Bandung.
Pada tahun tersebut, Persib juga berhasil menjuarai kompetisi perserikatan dengan mngalahkan Persis.
Pendudukan Jepang
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang, kegiatan persepakbolaan yang
dinaungi organisasi dihentikan dan organisasinya dibredel. Dengan
sendirinya, Persib mengalami masa vakum.
Pada masa revolusi fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali
menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib
untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar di berbagai kota,
sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di
Yogyakarta. Pada masa itu, prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibu
kota perjuangan Yogyakarta.
1948
Persib kembali berdiri di Bandung di tengah rongrongan Belanda (NICA)
yang kembali datang sekaligus ingin menghidupkan lagi VBBO meski dengan
nama yang berbahasa Indonesia. Pada masa pendudukan NICA itu, Persib
didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa,
Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan itu rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu
perkumpulan sepak bola yang dilandasi semangat nasionalisme, yakni
Persib.
1950-1962
Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, dekade 1950-an itu pun
mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib
mengakhiri masa nomaden kantor sekretariat. Wali Kota Bandung saat itu
R. Enoch membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas
upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang
sampai sekarang berada di Jalan Gurame.
Sejak saat itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi
perserikatan terus membesar. Persib kemudian menjadi juara perserikatan
pada 1961 setelah mengalahkan PSM Ujung Pandang di final. Karena
prestasinya itu, Persib ditunjuk mewakili PSSI di ajang kejuaraan
sepakbola “Piala Aga Khan” di Pakistan pada 1962.
Tahun 1970-1985
Tahun 70-an, Persib mengalami masa sulit dan miskin gelar.Puncaknya,
pada Kompetisi Perserikatan 1978-1979, Persib terdegradasi ke Divisi I.
Revolusi pembinaan dilakukan. Dipersiapkanlah tim junior yang
ditangani pelatih Marek Janota (Polandia). Kemudian, tim senior
diarsiteki Risnandar Soendoro. Gabungan pemain junior dan senior ini
membuahkan hasil karena Persib berhasil promosi ke Divisi Utama dengan
materi pemain seperti Sobur (kiper), Giantoro, Kosasih B, Adeng Hudaya,
Encas Tonif, dan lainnya.
Hasil polesan Marek ini lahirlah bintang-bintang Persib seperti Robby
Darwis, Adeng Hudaya, Adjat Sudrajat, Suryamin, Dede Iskandar, Boyke
Adam, Sobur, Sukowiyono, Iwan Sunarya. Hasil binaan Marek membawa Persib
lolos ke final bertemu PSMS pada Kompetisi Perserikatan 1982-1983 dan
1984-1985.
Dua kali Persib harus puas sebagai runner-up setelah kalah adu
penalti. Pertandingan final 1984-1985 mencatat rekor penonton karena
membeludak hingga pinggir lapangan. Dari kapasitas 100.000 tempat duduk
di Stadion Senayan, jumlah penonton yang hadir mencapai 120.000 orang.
Tahun 1986-1990
Pada Kompetisi Perserikatan 1986, Persib yang ditangani pelatih
Nandar Iskandar meraih juara setelah di final mengalahkan Perseman
Manokwari 1-0 melalui gol tunggal Djadjang Nurdjaman, di Stadion
Senayan. Persib kembali meraih gelar juara pada Kompetisi 1990 setelah
mengalahkan Persebaya, 2-0, melalui gol bunuh diri Subangkit dan Dede
Rosadi.
Tahun 1993-1994
Pada kompetisi penutup Perserikatan 1993-1994 Persib meraih gelar
juara setelah di final mengalahkan PSM, 2-0, melalui gol Yudi Guntara
dan Sutiono Lamso. Persib pun berhak membawa pulang Piala Presiden untuk
selamanya karena kompetisi berikutnya berubah nama menjadi Liga
Indonesia, yang pesertanya dari tim-tim Galatama dan Perserikatan.
1994/1995
Persib kembali mencatatkan namanya dalam sejarah kompetisi Liga
Indonesia. Persib berhasil mencapai final dan menggengam trofi juara
dengan menaklukkan Petrokimia Putra dihadapan lebih-kurang 80.000
penonton di partai final dengan skor 1-0 melalui gol Sutiono Lamso menit
ke-76.
Saat itu, Persib masih ditangani pelatih Indra Thohir dengan asisten Djadjang Nurdjaman dan Emen “Guru” Suwarman.
Tahun 1995-2008
Sebagai juara liga, Persib berhak berpartisipasi di Piala Champions
Asia (saat ini Liga Champions Asia). Prestasi Persib cukup membanggakan
Indonesia karena lolos sampai ke perempat final. Namun di kancah
domestik, Persib tenggelam dalam gradasi prestasi.
Pelatih datang silih berganti dan pada 2003, Persib yang awalnya
konsisten dengan muatan pemain dan pelatih lokal akhirnya menggunakan
jasa pelatih maupun pemain asing dalam upaya perbaikan prestasi. Namun
bukannya membaik, prestasi Persib justru memburuk. Sledzianowski diganti
di tengah jalan karena Persib terseok-seok di papan bawah bahkan sempat
hampir terdegradasi.
2008
Persib yang awalnya merupakan perserikatan amatir akhirnya menjadi
klub profesional setelah terbentuknya sebuah badan hukum bernama PT
Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) pada akhir Desember 2008. Sejak saat
itu, Persib tidak lagi mendapatkan kucuran dana pengelolaan dari
pemerintah, melainkan dari pengelolaan usaha di bawah naungan PT PBB.
Seiring berjalannya waktu, PT PBB berhasil menjadi salah satu pengelola klub profesional terbaik di Indonesia.
Profesionalitas membawa prestasi cukup membaik pada Kompetisi Liga
Super Indonesia I/2008-2009. Untuk kali pertama Persib diracik pelatih
lokal dari luar Bandung. Jaya Hartono yang membawa Persik Kediri
menggondol Piala LI IX/2003 dipanggil melatih Persib. Pada era Jaya,
Persib meraih peringkat tiga dalam kompetisi yang menggunakan format
satu wilayah.
2014
Setelah puasa gelar selama 19 tahun, Persib akhirnya menjadi juara
Liga Super Indonesia 2014 di bawah kendali pelatih lokal, Djadjang
Nurdjaman. Persib mengalahkan Persipura Jayapura melalui drama adu
penalti babak final yang berlangsung di Stadion Gelora Sriwijaya
Jakabaring Palembang.
Selain mempersembahkan gelar juara Liga Indonesia untuk kedua kali,
Djadjang juga mengukir rekor sebagai legenda hidup karena berhasil
mengantarkan Persib menjadi juara sebagai pemain, asisten pelatih, dan
pelatih kepala.
2015
Di tengah suramnya situasi sepak bola dalam negeri akibat konflik
Pemerintah dengan PSSI, Persib sempat membubarkan tim namun kemudian
kembali berkumpul dan sanggup menjaga marwah sebagai tim elite Tanah
Air. Maung Bandung tampil sebagai juara turnamen bergengsi Piala
Presiden 2015. Pada babak final, tim asuhan Djadjang Nurdjaman
mengalahkan Sriwijaya FC, 2-0. Namun, kegemilangan pada ajang pengisi
kekosongan liga itu tidak berlanjut pada turnamen selanjutnya, Piala
Jenderal Sudirman. Langkah Persib terhenti hanya di babak fase grup
karena cuma menang sekali dan menelan tiga kekalahan beruntun.***
Prestasi emas Persib Bandung pada era Perserikatan dan Liga Indonesia
Total trofi juara: 7 kali
Perserikatan: juara 1937, 1961, 1986, 1989-90, 1993-94
Liga Indonesia: juara 1994–1995, 2014